Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Menjadi imam dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata, ‘Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74).
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Qs. as-Sajdah: 24).
Membedakan antara perkara tsawabit (yang tidak berubah) dengan al-mutaghayyirat (yang bisa berubah).
Ushul aqidah, rukun-rukun Islam dan nash-nash syariat semuanya adalah tsawaabit tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud tajdid di sini adalah menghidupkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam akal manusia, serta mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru, maka ia tunduk kepada nash-nash syariat untuk dihukumi dan tidak sebaliknya sebagaimana pengakuan para pengagum pembaharuan Islam yang ada.
Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam al-Quran atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum tertentu, maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnya perubahan waktu dan tempat, serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan, maka ia akan tetap berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan, hingga datang nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya (Al-Ihkam Fi Ushuul al-Ahkam, 5/774). Demikianlah hal ini, karena hukum-hukum syariat ada dua jenis:
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang gamblang. Jenis ini akan diberlakukan sepanjang zaman disemua tempat dan tidak mengalami perubahan.
Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang bersumber kepada qiyas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash syariatnya atau juga adat yang hukum syariat tidak dibangun di atasnya.
Inilah yang dijelaskan Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan beliau:
Norma-norma yang berlaku ada dua:
Norma-norma agama (al-‘awa`id asy-syar’iyah) ditetapkan dalil syar’i atau ditolak dalam pengertian syariat memeritahkan hal tersebut secara wajib atau sunnah, melarangnya secara makruh atau haram atau mengizinkannya untuk diwujudkan dan ditinggalkan.
Hukum-hukum yang berlaku di antara manusia yang tidak ada dalil syar’i yang menolak dan menetapkannya.
Yang pertama ini diberlakukan selamanya… Sedangkan kedua norma-norma tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah (Al-Muwafaqat Fi Ushul asy-Syari’at, 2/283-284).
Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama.
Imam al-Munawi rahimahullah menyatakan, “Aaa satu hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits (إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا) hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba’tsu (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada di awal abad… Pengertian kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim di awal abad adalah diambil bukan diutus.
Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan tajdid dan mujaddid yang disampaikan para ulama, semoga memberikan wacana dan pencerahan dalam masalah ini.
[Diringkas dari kitab Tajdiid ad-Din, Mafhumuhu wa Dhawabithuhu wa Atsaaruhu, karya Prof. Dr. Muhammad bin Abdilaziz bin Ahmad al’Ali, cetakan pertama tahun 1430 H, penerbit Kunuz Asybiliyah dari halaman 55-83.]
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.PengusahaMuslim.com